Jumat, 11 April 2014

"Keganasan" Jejaring Sosial

sumber foto: tempo.co
Pertengahan April, tepatnya tanggal 19, seorang siswi salah satu sekolah berbasis asrama di Bekasi memberhentikan seorang siswinya, Wina Nidaul Gina. Seperti diberitakan “PR” (20/04/2012), Gina yang sedang mengikuti Ujian Nasional tersebut diberhentikan pihak sekolah dengan tuduhan penghinaan melalui jejaring sosial facebook. Walaupun pada akhirnya Wina bisa mengikuti ujian susulan pada tanggal 24 April 2012 (“PR”, 25/04/2012) karena desakan pihak yang berkepentingan dengan pendidikan, Dinas Pendidikan, Pemkot Sukabumi dan Kemendikbud, namun jika yang dituduhkan padanya benar maka Wina menjadi salah satu korban dari banyak korban “keganasan” jejaring sosial.

Wina, bukan orang pertama yang menjadi korban “keganasan” media jejaring sosial. Jauh hari sebelum Wina, telah banyak korban lainnya, seperti kasus dipolisikannya seorang siswi SMA di Bogor karena membuat status penghinaan terhadap temannya, atau kasus didemonya seorang mahasiswa ITB yang dituduh membuat status rasis saat Persib menjamu Persipura di Bandung. Itu hanya sebagian kecil kasus yang bisa disebutkan. Kasus ini bukan hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negeri pembuat facebook. Jejaring sosial, menjadi “ganas” saat seorang penggunanya menulis status yang tidak patut.

“Keganasan” jejaring sosial bukan hanya terjadi saat seseorang menulis status tidak patut tetapi juga pertemanan daring dapat menjadi boomerang bagi mereka yang tidak hati-hati. Seperti kasus-kasus penculikan dan pencabulan. Bahkan seorang tetangga, membatalkan pesta pernikahannya karena sang calon memalsukan statusnya di jejaring sosial. Kini tidak sedikit para penculik yang menjadikan jejaring sosial facebook sebagai media pencarian calon mangsanya melalui foto-foto yang ditampilkan pengguna jejaring sosial. Sehingga hal tersebut menambah rentetan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan media jejaring sosial

Dari Ruang Privat ke Ruang Publik

Ruang digital merupakan media yang mempertemukan antara ruang privat dan ruang publik. Ia melebur menjadi satu, selain sebagai ruang privat ia juga sekaligus sebagai ruang publik. Apa yang kita wacanakan dan munculkan dalam ruang privat akan dikonsumsi juga oleh masyarakat dalam ruang publik. Mencuatnya beberapa kasus tersebarnya beberapa koleksi foto-foto pribadi seseorang ke ruang publik merupakan konsekuensi dari peleburan ruang privat dengan ruang publik dalam dunia digital.

Ruang publik tidak hanya dimaknai sebagai sebuah tempat secara fisik, seperti lapangan terbuka atau mall. Ia juga merupakan sebuah ruang yang menjadi arena silaturahmi berbagai macam manusia di dalamnya, ia merupakan ruang sosial, dapat berupa media massa atau pun media konvergensi yang terhubung secara digital. Sehingga wajar, di era connecting seperti ini dimana kamera dan smartphone sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan, kita “dilarang bugil di depan kamera”, seperti diserukan oleh Kemenkominfo, agar kita tidak menjadi korban keganasan dari dunia digital, terlebih jejaring sosial. Karena koleksi pribadi tersebut yang berada pada ruang privat tanpa disadari pemiliknya akan menjadi konsumsi publik seperti kasus Ariel Peterpan atau banyak kasus lain yang serupa.

Kenyataan tersebut semakin mengukuhkan bahwa pada era konvergensi teknologi dan kemajuan teknologi digital, konvergensi teknologi juga telah meleburkan batas antara ruang privat dan ruang publik. Sehingga kepemilikan pribadi dapat juga sekaligus dimiliki oleh masyarakat publik. Hal inilah yang menimpa Wina, bahwa unek-unek pribadinya yang dituangkan dalam bentuk status menjadi konsumsi publik.

Keharusan Melek Digital

Penggunaan teknologi digital dalam kehidupan sehari-hari harus difungsikan secara proporsional. Oleh karena itu, teknologi juga harus difungsikan secara hermeneutis, agar fungsinya tidak menyimpang, seperti dikatakan oleh Ihde. Karena bagaimanapun alat teknologi tersebut telah melakukan reduksi makna yang sebenarnya, dari realitas konkrit ke dalam realitas teknologi. Seseorang yang tidak berbuat apapun, dalam era imagi, dapat menjadi korban rekayasa teknologi yang kemudian disebar di ruang digital.

Inilah yang harus disadari oleh manusia digital. Bahwa alat-alat teknologi seperti gadget yang telah menghubungkannya dengan dunia luar, tidak secara sempurna melakukan penafsiran, bahkan penafsiran tersebut dalam citra digital telah diselewengkan secara sengaja oleh manusia digital lainnya.

Untuk memaknai hidup agar tidak terjebak pada kondisi tersebut maka, meminjam istilah John Naisbith, selain akrab teknologi—high tech juga harus diimbangi dengan high touch. Merangkul teknologi yang memanusiakan sekaligus menolak teknologi yang merusak. Teknologi harus secara sadar dipilih tatkala ia menambahkan nilai pada kehidupan.

Kita harus tahu kapan kita harus menghindari berlapis-lapis godaan yang diakibatkan oleh teknologi. Jika manusia telah mencapai posisi ini, pada dasarnya ia telah mencapai high tech high touch.

Oleh karena itu mari kita gunakan teknologi digital sebagaimana mestinya, tulislah status secara empatik, sebagaimana halnya tuntutan norma dalam kehidupan nyata. Hati-hatilah terhadap ranjau-ranjau yang dipasang oleh manusia digital yang tidak bertanggung jawab. Itulah hakikat dan predikat sebagai manusia yang melek secara digital. Jangan sampai kita menjadi korban dari keganasan jejaring sosial dan dunia digital lainnya. Sadarilah bahwa ruang privat kita kadang-kadang jebol atau dijebol oleh manusis digital yang tidak bertanggung jawab sehingga membanjiri ruang publik.

0 komentar:

Posting Komentar